Sabtu, 25 Juni 2011

Drummer Radiohead Meluncurkan Album Solo

Berdasarkan laporan, drummer Radiohead Phil Selway dikabarkan akan merilis album solo akhir musim panas ini.

Sang drummer ini akan melihat album solonya Familial dijual dipasaran mulai 30 Agustus. Album ini diproduseri oleh Ian Davenport dan akan menampilkan kontribusi dari drummer Wilco Glen Kotche, penyanyi dan penulis lagu Lisa Germano dan bassist dari Soul Coughing Sebastian Steinberg.

Selway memulai solo karirnya pada tahun 2001 sebagai bagian dari 7 Worlds Collide Charity Project dimana mereka terakhir memainkan shownya tahun lalu. Sementara itu Radiohead sedang mengerjakan lanjutan dari albumnya yang dirilis tahun 2007 In Rainbows di Los Angeles.

Daftar lagu di album Familial sebagai berikut:

01. By Some Miracle
02. Beyond Reason
03. A Simple Life
04. All Eyes On You
05. The Ties That Bind Us
06. Patron Saint
07. Falling
08. Broken Promises
09. Don't Look Down
10. The Witching Hour (kad/ugc)

Radiohead Bantah Akan Tampil Di Tokyo

uru bicara Radiohead telah menyangkal bahwa Radiohead akan melakukan show di Tokyo menjelang rilis album baru mereka.

Kamis 17 Februari, Radiohead memposting pesan dalam bahasa jepang menjelaskan mengenai Tokyo Hachiko Square di Shibuya dan jadwalnya 18:59(JST) besok. Beberapa fans mengira ini tentang kemungkinan tampilnya Radiohead di Jepang, akan tetapi hal itu telah dibantah oleh juru bicara Radiohead sendiri.

"Radiohead tidak akan berada di Jepang besok, jadi para fans sebaiknya tidak pergi menuju Shibuya dengan harapan dapat melihat Radiohead," tegasnya.

Radiohead dijadwalkan akan merilis album barunya 'The Kings Of Limbs' pada hari sabtu.

ALbum baru tersebut diisukan akan berisi delapan lagu baru, walaupun sebelumnya Radiohead menyatakan tidak akan membeberkan detil daftar lagu di album barunya tersebut.(kad/nme.com)

Radiohead Rilis Album Baru `The King Of Limbs`

Radiohead dijadwalkan akan merilis album barunya 'The King Of Limbs' pada hari sabtu 19 Februari 2011.

Radiohead mengumumkan beritanya melalui situs resmi mereka, Radiohead.com, pagi ini(14 Februari). Album baru tersebut dapat dibeli secara online melalui order ke Thekingoflimbs.com.

Album baru tersebut akan dapat didownload mulai hari sabtu, dan rencananya akan dirilis cd dan kasetnya pada 9 Mei 2011 yang disebut sebagai 'newspaper album'.

Paket 'Newspaper album' akan berisi 'The King Of Limbs' dalam format CD, dua buah vinyl record dan satu artwork sheets. Dan yang membeli paket tersebut akan menerima album yang dapat didownload pada hari sabtu.

Album baru ini adalah album yang dihasilkan oleh Radiohead setelah album sebelumnya dirilis pada tahun 2007 'In Rainbows', yang dirilis secara donwload yang berbayar.

Nama dari album baru ini berhubungan dengan pohon oak di Wilthshire Savernake Forest, yang diperkirakan telah berumur 1000 tahun lebih. Hutan itu terdapat sejauh 3 mil dari Tottenham House, salah satu country house dimana radiohead melakukan rekaman untuk album 'In Rainbows'.(kad/nme.com)

Radiohead `The King Of Limbs` Akan Ditampilkan Di Glastonbury?

Para fans Radiohead yang tidak sabar menunggu debut dari album "The King Of Limbs" mungkin akan mendapatkannya lebih awal dari yang mereka kira....asal mereka memiliki tiket Glastonbury festival.

Gigwise.com melaporkan bahwa Radiohead akan tampil di Park Stage. Sementara pihak manajemen belum bersedia memberikan komentar soal tampilnya Radiohead, hal tersebut masih dirahasiakan. Tahun lalu, Thom Yorke dan Jonny Greenwood muncul dalam panggung yang sama menampilkan aksi akustik pendek.

Sementara itu, bagi yang belum memiliki tiket Glastonbury, siaran live "The King Of Limbs" akan dapat dinikmati melalui BBC tanggal 1 Juli 2011, dengan disiarkannya "The King Of Limbs: Live From The Basement"; lengkap dari album terbaru tersebut serta masih ditambah bonus lagu yang lain.

Bryce Edge Of Courtyard Management (manajemen Radiohead) telah mengeluarkan pernyataan mengenai hal ini : "Ini akan menjadi selebrasi pertama Radiohead melalui BBC Worldwide dan Radiohead sangat tidak sabar untuk melihat reaksi fans akan adanya live performance "The King Of Limbs" yang disiarkan ke seluruh penjuru dunia."

Radiohead yang kembali tampil di Glastonbury sepertinya sangat cocok, melihat dari sejarah mereka bersama festival ini. Band asal Oxford ini menjadi headline dua kali selama karir mereka, pertama kali 1997 dan diulang kembali pada tahun 2003.(kad/ugc)

Children of Blood

Alexi Laiho, vokalis dan gitaris utama Children of Bodom telah melewati masa gelap kehidupannya. Dulu ia adalah seorang penenggak minuman beralkohol berdosis tinggi, pengguna narkoba dan punya kebiasaan menyakiti diri sendiri. Pernah pula terjatuh karena mabuk berat sehingga mematahkan tulang bahunya. Bahkan akibat kecelakaan tersebut, Alexi menghadapi kenyataan nyaris kehilangan kemampuannya bermain gitar. Dari situlah ia lantas mendapatkan julukan “Wildchild”.

Kini, Alexi sudah meninggalkan kebiasaan destruktif tersebut jauh di belakang. “Saya sudah mematahkan
beberapa tulang saya, cukup sudah,” tegasnya. Kini, ‘kemarahannya’ dialihkan ke arah yang lebih positif, ditumpahkan
sebebas-bebasnya di penggarapan album ‘Blooddrunk’ yang baru saja dirilis Spinefarm
Records/Universal. Hasil wawancara yang dilansir dari beberapa majalah dan situs musik asing, Alexi selalu menandaskan bahwa konsep musik ‘Blooddrunk’ jauh lebih nge-thrash, kencang, progresif, gelap namun sekaligus
lebih mudah diserap kuping dibanding album sebelumnya, ‘Are You Dead Yet?’ (2005). “Mungkin ada beberapa lagu yang masih menjadi favorit saya dari album sebelumnya. Tapi dari segi album keseluruhan, setidaknya ‘Blooddrunk’ jauh lebih baik. Tak ada yang terasa kurang atau semacamnya,” paparnya. Selain itu, proses penggarapannya pun
jauh lebih siap. Tidak seperti ‘Are You Dead Yet?’ yang dikejar-kejar waktu. “Kami sudah tahu akan seperti apa bentuk lagunya karena kami telah siap sebelum masuk studio. Kami sudah berpengalaman bertahuntahun. Semakin banyak pengalaman, maka proses selanjutnya akan jauh lebih mudah,” katanya.

Gitaris Hits Maker

Di jagat industri musik pop di Indonesia, tak ada yang tak mengenal kedua gitaris ini. Mereka dikenal sebagai “hits maker” karena sepertinya paham betul bagaimana merancang dan menciptakan sebuah single hits. Dan itu sudah terbukti. Lewat lagulagu ciptaan Franco “Enda” Medjaja, gitaris kelahiran Kudus, 4 Maret 1976, nama Ungu langsung menjulang dan telah mengharubiru lewat hits seperti ‘Demi Waktu’ atau ‘Kekasih Gelapku’. “Kegilaan” serupa juga disemburkan Samsons, yang dimotori oleh Irfan Aulia Irsal, kelahiran Jakarta, 26 April 1983. Masih ingat rekor yang diciptakan lagu ‘Kenangan Terindah’? Selain meroketkan Samsons sebagai pendatang baru, lagu ciptaan Irfan tersebut juga berhasil mencatat angka lebih dari dua juta pengakses untuk pemakaian RBT (ring back tone).
Berprofesi ganda sebagai penyipta lagu sekaligus gitaris telah melekat pada diri Enda dan Irfan. Nah, kedua sisi itulah yang lantas digali GitarPlus saat berhasil mempertemukan keduanya di studio musik Viky Sianipar Centre, Jakarta,
21 Mei lalu. Terbilang sangat beruntung bisa menyocokkan jadwal keduanya. Selain jadwal manggung yang masih tetap padat, Enda saat ini sudah mulai disibukkan kegiatan workshop bersama Ungu untuk persiapan album berikutnya.
Sementara Irfan, akhirnya bersedia menyisakan waktunya beberapa jam untuk wawancara di tengah penggarapan tahap akhir album repackaged ‘Penantian Hidup’.

RAINY FANTASY

Masih ingat Jubing Kristianto? GitarPlus pernah mewawancarai shredder gitar akustik ini dan dimuat di edisi 42 (Agustus 2007). Keistimewaan Jubing terletak pada eksplorasinya di gitar akustik, di mana ia memainkan beberapa komposisi lagu dengan tingkat kesulitan tinggi hanya dengan satu gitar. Seperti yang ia tunjukkan di album debutnya, ‘Becak Fantasy’ (2007, IMC Record). Saat itu, respon para penikmat musik-musik gitar instrumental di Indonesia terhadap album tersebut cukup positif dan apresiatif. Jubing berhasil menggairahkan dunia gitar akustik, yang selama ini agak kurang dilirik karena kadang terlalu identik dengan style romantic. Di sisi lain, Jubing juga berhasil membukakan mata kita bahwa dengan modal keahlian memainkan gitar klasik, sangat banyak sebenarnya style yang bisa dikembangkan.
Kini, Jubing kembali hadir dengan kumpulan komposisi sejenis bertajuk ‘Hujan Fantasy (Exploring Solo Acoustic Guitar Music II)’. Juga dirilis oleh IMC Record, Semarang. Tak beda dengan album sebelumnya, kali ini Jubing juga menampilkan eksplorasi yang sarat kejutan. Salah satu misalnya, Jubing coba-coba menjajal gitar akustik bersenar logam (steel string), yang ia terapkan di lagu ‘Aku Cinta Dia’.
Jika di album pertama ada komposisi ‘Magnificent Seven’ yang disebut-sebut Jubing lumayan sulit dimainkan, kini ia kembali ‘menyiksa’ jemarinya lewat ‘Bohemian Rhapsody’, lagu klasik rock legendaris milik Queen. Di album ini, Jubing juga menyisipkan ‘Madu dan Racun’ (hits yang pernah dipopularkan Bill & Brod di era ‘80an), komposisi yang pernah dimainkan Jubing saat mengikuti kompetisi gitar Yamaha, tahun 1986. Kemudian ada pula gubahan lagu tradisonal ‘Gundul-gundul Pacul’ yang dimainkan secara live, direkam dari penampilan duet Jubing dengan perkusionis Suryadi “Plenthe” di Mal Ambarukmo Plaza Yogyakarta, 7 November 2007 silam.
Hujan yang menjadi tema utama album ini diwakili oleh komposisi ‘Hujan Fantasy’ (dikembangkan dari lagu ‘Hujan’ karya Ibu Soed) serta nomor ciptaan Jubing sendiri yang bertajuk ‘Once Upon A Rainy Day’. Saat rekaman album ini, Jubing memainkan gitar Taiki TG-40-C dan Yamaha CGX 171-CC. Lebih jauh tentang proses kreativitas Jubing saat menggarap album ‘Hujan Fantasy’.

SIAP MENGHAJAR...!

Album ‘Inhuman Rampage’ telah melambungkan nama DragonForce ke level yang makin tinggi. Konon penjualannya mencapai angka lebih dari 1,5 juta di seluruh dunia. Sementara di Amerika saja, album dengan single andalan ‘Through the Fire and Flames’ tersebut bisa menembus angka 300 ribu keping. Kesuksesan itulah yang lantas mengantarkan mereka pada kesibukan tur yang simultan di berbagai negara.
Kini, setelah melahap tiga kali tur dunia, mencakup 240 jadwal manggung di sebanyak 26 negara (termasuk konser di Tennis Outdoor Senayan, Jakarta, 19 Mei 2007), akhirnya band pengusung aliran power metal ekstrim tersebut, berhasil merampungkan album terbarunya, ‘Ultra Beatdown’ (SpineFarm/Universal). Ini adalah album penuh keempat band asal London, Inggris yang masih dihuni ZP Theart (vokal), Herman Li (gitar), Sam Totman (gitar), Frédéric Leclercq (bas), Vadim Pruzhanov (kibor) serta Dave Mackintosh (dram) tersebut. Seluruh penggarapan rekamannya dilakukan di Thin Ice Studios (Surrey) serta LamerLuser & Batmam Studios (London) dan diproduseri oleh Karl Groom plus gitaris Herman Li dan Sam Totman. Mereka menghabiskan waktu selama 18 bulan untuk merancang dan membangun album ini.
Di siaran pers resmi yang diedarkan pihak labelnya, Herman Li menuturkan bahwa ‘Ultra Beatdown’ – seperti halnya album-album sebelumnya – selalu digarap dengan pendekatan berbeda. “Setiap album berbeda buat kami,” tandas Herman. “Kami tak pernah mau mengulang apa yang telah kami lakukan sebelumnya, itulah yang membuat setiap album terasa sedikit rumit. Dan kali ini, kami menolak banyak hal untuk menghindari pola lama. Kami bukan tipikal band yang terpaku pada satu formula dan melakukan hal yang sama berulang-ulang.”

Digitalisasi PAS

Di sela hiruk-pikuk “Soundrenaline 2008” yang digelar di Lapangan Rampal, Malang, GitarPlus akhirnya bisa menemui para personel PAS Band, terutama gitaris Bengbeng, yang belakangan sangat sibuk dengan kegiatan turnya. Konon, menurut Bengbeng, PAS bahkan sama sekali belum sempat melakukan kegiatan promo untuk album barunya, ‘Romantic... Lies... And Bleeding’ (Aquarius). “Semalam, kami manggung di Tasikmalaya, terus langsung menuju Malang,” ujar Bengbeng yang terlihat masih terkantuk-kantuk saat pintu kamarnya di salah satu hotel di Malang

SAYA BUKAN GITARIS ANDAL YANG TERKENAL

Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Sabtu 16 Agustus 2008 pukul 15.30 WIB.

Apa konsep utama album ‘Pretty. Odd.’?

Emm..., saya pikir konsep utama ‘Pretty. Odd.’ (2008, Atlantic Records) adalah kami mencoba untuk bermain lebih kreatif dan terbuka. Karena di album pertama kami telah mencoba banyak hal dan kini di album kedua kami mencoba memperluas sound kami. Kami melakukan banyak eksperimen dengan banyak lagu yang berbeda dengan berbagai tema. Karena t e m a n y a meluas, mencoba memainkan musik yang berbeda dengan instrumen yang berbeda, mencoba untuk memperluas kemampuan kami.

Sebagai seorang gitaris, apakah kamu merasa punya kontribusi yang terbatas di musik Panic?

Yeah, kadang saya ingin memainkan semua yang ingin saya mainkan. Sebenarnya saat saya pulang ke rumah, saya masih kembali menemui guru gitar saya, di mana saya telah belajar sejak saya berumur kirakira 16 tahun. Saya bukan seorang gitaris andal yang terkenal secara teknik, saya masih belajar tentang beberapa hal. Saya selalu berharap seandainya saja saya bisa lebih baik, saya merasa kurang cukup belajar saat memulainya. Tapi saya lakukan yang saya bisa dan berusaha untuk selalu menjadi lebih baik.

KNOCK “SHREDDER” OUT!!!!

Rabu (17/9) silam, sebuah paket berisi satu CD album mampir di meja redaksi. Pengirimnya tak lain adalah I Wayan Balawan, salah satu gitaris terbaik di Indonesia yang juga merupakan kontributor tetap GitarPlus. CD berjudul ‘1st Anniversary Album’ tersebut bukan album terbaru Balawan, melainkan sebuah kemasan kompilasi dari gitaris-gitaris yang tergabung di Bali Guitar Club (BGC), yang diproduksi dan diedarkan secara independen. Ini sebuah kemajuan yang mengejutkan sekaligus membanggakan karena komunitas BGC ini terbilang masih sangat belia. Baru diresmikan terbentuk pada 23 Agustus tahun lalu.

Di album ‘1st Anniversary Album’ ini sendiri, Balawan memegang peranan sebagai produser, berdua dengan I Nyoman Doni Lesmana. Ada 12 komposisi instrumental yang disuguhkan, dengan corak musik bervariasi, dari rock, metal, blues, jazz dan bahkan etnik Bali yang dicampuraduk, plus penerapan shredding skill di mana-mana. Lewat perbincangan di email, Balawan menyampaikan “unek-uneknya” seputar pembuatan album tersebut. Berikut transkrip lengkapnya:

Bisa cerita ide dan proses di balik pembuatan ‘1st Anniversary Album’?

Saya ingin mengumpulkan gitaris-gitaris di Bali agar mendapat kesempatan rekaman dan lebih fokus berkarya. Selama ini, gitarisgitaris di Bali cenderung menjadi pengamen di cafe dan hotel sejalan dengan pesatnya perkembangan pariwisata. Jadi mereka main gitar hanya untuk cari uang penghidupan tanpa memikirkan karya....

Kenapa memilih judul ‘1st Anniversary Album’?

Tiap tahun kami akan merilis album ‘2nd’, ‘3rd’, ‘4th’ dan seterusnya, untuk lebih mudah mengingatnya juga.

’DEAR GOD’DITULIS SAAT MABUK

Synyster, kamu baru bergabung di Avenged Sevenfold (A7X) setelah album ‘Sounding the Seventh Trumpet’ (Good Life Recordings, 2001 – dirilis ulang oleh Hopeless Records, 2002). Bisa cerita kenapa?

Zacky Vengeance (ZV): Karena kami payah... hehe. Kami sangat payah sekali dan membutuhkan bantuan secepat mungkin yang bisa kami dapatkan. Dia (Synyster) teman baik The Rev (dramer A7X). Lalu dia berminat untuk membantu dan bilang, ‘Kalian payah dan saya bisa membantu kalian agar menjadi lebih baik, membantu gitaris kalian yang lain agar bisa bermain gitar lebih baik dan juga punya penampilan lebih baik’... hehehe. Kami memiliki pertemanan yang sangat indah. Yeah, saya rasa dia lebih menyukai The Rev dari pada album kami dan akhirnya ia bergabung dan membuat segalanya menjadi lebih baik

Synyster Gates (SG): Saya mendengar pemanasan vokal yang dilakukan oleh M. Shadows dalam sebuah perjalanan dan terkejut, ia seperti sedang berusaha membakar sebuah rumah dan saya berkata ‘What the fuck is that?’ Lalu saya berhenti karena terdengar seperti Kim Sanders (penyanyi dan penulis lagu berdarah Afro- Amerika)... hahaha!

Pernahkah terpikir untuk kembali ke album pertama seperti yang Metallica lakukan?

SG: Itu seperti di saat kamu bermimpi tentang sesuatu dan kamu menginginkan sesuatu tapi apa yang kamu pikirkan dan inginkan adalah sebuah mimpi buruk?! Dan itu merupakan mimpi buruk di saat kembali ke awal perjalanan kami. Sebenarnya kami menyukai semua hal yang telah kami lakukan, tapi kami berusaha untuk membuat hal yang baru dan berbeda. Semua orang ingin berubah dan di saat kami melakukan sesuatu yang baru, menurut saya itu memberikan penghormatan akan apa yang telah kami lakukan sebelumnya. Berhenti mengulangi apa yang telah kami kerjakan, karena kami tidak akan berkembang jika tetap mengikuti pada apa yang telah kami kerjakan. Dan akhirnya, kami mencari jalan keluar yang lebih mudah dengan membuat lagu berbeda. Apakah lagu ini bagus? Saya tidak tahu... yang jelas ini berbeda, fuck yeah! Jadi untuk ke depannya akan selalu terdapat perubahan dalam setiap album.

SAYA MENYUKAI SEMUA TEKNIK”

Bisa jelaskan apa saja keistimewaan Yamaha BB714BS ini? Apa perbedaannya dibanding ATTLTDII?

Banyak yang istimewa di bas ini. Warna barunya yang keren, merah, dan saya suka sekali warna merah. Ada pickup yang sangat khusus di posisi neck, yakni super deep low end. Jadi kurang lebih sama dengan bas Attitude saya, yang tentunya telah sangat sukses, juga punya lekukan bodi BB yang klasik, seperti bas Yamaha yang saya miliki pertama kali. Benar-benar sesuatu yang mantap, rock solid, sound dan neck-nya sangat bagus.

Apakah BB ini dibikin karena belum merasa puas dengan Attitude?

Tentu tidak, saya sangat puas dengan Attitude. Attitude sangat sempurna memainkannya, saya sangat menyukainya. Ini (BB) hanya tambahan, tidak ada perbandingan. Sejak saya mulai sering memainkan model BB, sekitar 20 tahun silam, ketika mulai bekerjasama dengan Yamaha, ternyata banyak permintaan terhadap model yang biasa saya pakai. Jadi kami merancangnya, dan BB714BS ini merupakan versi terbarunya. Tapi saya selalu memainkan Attitude, bas kesayangan saya.

Kenapa tidak menempatkan scallope neck di BB714BS seperti halnya Attitude?

Tidak, karena Attitude memang pengkhususan. Kadang-kadang seorang musisi membutuhkan hal-hal yang khusus. Dan kadang musisi lain akan menemukan kesulitan untuk memainkannya. BB dirancang lebih ke arah bas yang bisa dimainkan semua orang. Lagipula model BB banyak digemari. Siapa pun yang mencobanya akan langsung menyukainya. Laris di manamana. Dan saya banyak mendapat kiriman email yang mengatakan susah mendapatkan model itu lagi.

“KAMI ADALAH BAND YANG PENUH PERSIAPAN”

Konsep apa yang coba kalian bawa di album ‘An Ocean Between Us’?

Phil Sgrosso (PS): Kami mencoba memperdalam setiap lagu kami dan memberikan sesuatu yang berbeda di dalamnya, supaya setiap lagu yang ada memiliki karakter yang berbeda dan setiap lagu bisa berdiri dengan sendirinya. Ya, kurang lebih seperti itu.

Ekuipmen yang digunakan di album tersebut?

Nick Hipa (NH): Banyak yang kami gunakan di sana. Untuk gitar, setidaknya ada sembilan buah yang kami gunakan. Saya sendiri banyak menggunakan Ibanez dan Les Paul.
PS: Ya, Dean, Washburn dan Les Paul.
NH: Berbagai macam gitar kami coba. Selain itu, kami juga menggunakan Maxon OD 808 Overdrive pedal, juga Memory Man (Electro-Harmonix). Untuk yang satu ini kami banyak menggunakannya. Juga pedal delay dari Line 6 DL4 dan Boss DD6. Untuk ampli kami menggunakan Randall RM100.

FREAK GUITAR

Tolong jelaskan apa yang dimaksud dengan “freak” dalam konsep permainan gitar Anda?

Well, “freak” berarti orang gila, tapi saya pikir saya tidak segila itu. Saya berasal dari Swedia, dan hanya ada sembilan juta orang di Swedia. Saya mengambil arah yang berlawanan. Saya bisa berlari sebelum bisa berjalan. Saya kidal, tapi banyak yang berpikir saya “kanan”, jadi banyak sekali orang yang salah.... Tapi saya sebenarnya tidak terlalu “aneh”, saya hanya selalu mencoba cara baru. Saya tidak menggunakan efek apa pun dan tidak punya pedal, jadi saya berusaha sebisa mungkin melakukan ciri saya sendiri. Saya sekarang sering mendengarkan musik-musik Gypsy dan India dan mungkin akan memasukkan pengaruhnya ke musik saya. Saya selalu mencari visi baru.


Mungkin Anda perlu mendengarkan musik etnik khas Indonesia....

Ya, tentu saja. Saya akan membawanya ke Swedia. Saya hanya butuh panduan yang mana yang harus saya dengarkan.

SLANK DAME

Slank baru saja merampungkan tur Eropa dan Amerika dalam rangka peluncuran album ‘Anthem For The Broken Hearted’ yang dirilis di Amerika serta sejumlah penampilan untuk merayakan 25 tahun perjalanan karir Slank di kancah musik Tanah Air. Dan mulai 19 Februari 2009 mendatang, film musikal Slank yang berjudul “Generasi Biru” garapan sutradara Garin Nugroho siap ditayangkan di bioskop-bioskop di Indonesia.

Terlepas dari kesibukan bersama Slank yang setumpuk itu, gitaris Abdee Negara juga ternyata tengah merayakan kepuasan batin yang lain. Tentunya berkaitan dengan profesinya sebagai gitaris. Terhitung sejak akhir 2007 silam, tepat satu dekade sejak ia resmi bergabung di Slank, Abdee telah menyandang sebuah gitar signature terbarunya yang bernama Dame. Buat Abdee, bernaung di sebuah band rock No.1 di Indonesia bukan berarti juga harus menyematkan produk bermerk terkenal di dunia. Dame adalah produk bermerk Korea yang terbilang masih baru, namun Abdee sangat bangga memainkannya. Lebih jauh, berikut obrolannya dengan GitarPlus:



Apa alasan Anda berkenan bekerjasama dengan pabrikan Dame?

Hanya ada dua alasan, detail dan berkualitas. Mereka sanggup membuatkan saya gitar yang berkualitas dengan memperhatikan semua detail. Dan mereka bisa menyanggupi syarat yang saya ajukan, bahwa apa yang ada di pasar harus sama kualitasnya dengan yang saya gunakan.

Di gitar signature terbaru Anda, apa saja yang menjadi kelebihannya, dan apa yang membedakannya dengan gitar sebelumnya (Extreme)?

Selain ada beberapa perbedaan fisik seperti bodi gitar yang sekarang menggunakan Mahogany, sementara yang dulu menggunakan Elder. Juga, gitar Dame ini merupakan improvement dari gitar saya sebelumnya. Semua kekurangan yang terdapat di gitar sebelumnya sudah tidak ada lagi di gitar ini.

VISUALISASI MAGIC-TOUCH

Sejak Juni 2008 silam, I Wayan Balawan sudah mengabarkan ke redaksi bahwa ia tengah menggarap album baru plus video instruksional gitar berformat DVD. Sebuah berita gembira untuk dunia gitar di Indonesia. Karena sepertinya, sebelum Balawan, baru Dewa Budjana yang pernah menggarap video yang kurang lebih seperti itu. Di luar itu, belum ada gitaris professional yang melakukannya. Apalagi dengan penggarapan yang serius dan diedarkan untuk kepentingan umum. Dan pertengahan Januari 2009, akhirnya niat mulia Balawan itu pun terujud. Album solo keempat Balawan yang dikemas dalam satu paket bersama DVD berjudul ‘See You Soon’ tersebut telah dirilis oleh Universal Music Indonesia.


Bisa cerita proses pembuatan album ini?

Dari segi materi masih tetap mix, ada yang komersil juga. Tapi yang ini lebih jazz. Di sini juga ada lagu pop ciptaan Dewiq, judulnya ‘Asal Kau Mau’, memang dikasih untuk saya. Memang belum sepenuhnya idealis, karena nanti susah promonya. Makanya diimbangi dengan DVD lesson. Tadinya mau dibikin terpisah, tapi demi untuk mengurangi pembajakan. Karena di DVD ini mengajarkan cara memainkan lagu yang ada di album. Jadi memang harus berhubungan, orang harus memiliki dua-duanya. Apalagi harganya murah, dan bisa dapat dua-duanya sekaligus.

Kali ini tidak terlalu etnik dibanding album sebelumnya. Kenapa?

Soalnya mungkin yang seperti ini lebih cocok untuk Indonesia. Dan untuk gitar, saya juga bermain gitar akustik di lagu ‘I Don’t Want to Eat Alone Anymore’... hehehe, aneh judulnya. Saya sebelumnya tidak pernah bermain gitar akustik. Di album ini juga saya masukkan permainan gitar rock, karena di album sebelumnya nggak ada sama sekali. Karena album kemarin lebih menyesuaikan dengan konsep yang lebih etnik.

WAWANCARA EKSKLUSIF: Blues Saraceno

ANTHEM FOR SLANK





Mulai Agustus 2009 lalu, album berbahasa Inggris pertama Slank yang direkam dan telah diedarkan di Amerika sejak tahun lalu, ‘Anthem for the Broken Hearted’ akhirnya beredar juga di Indonesia. Produsernya, Blues Saraceno yang mantan gitaris band rock popular Amerika, Poison, mengupas secara gamblang proses rekamannya, khusus untuk GitarPlus!

***

Proses penggodokan ‘Anthem’ yang memuat lima lagu baru plus lima lagu lama yang diolah ulang untuk versi bahasa Inggris mulai dikerjakan Slank bersama Blues Saraceno di Studio City Sound, Los Angeles AS pada Juli 2007. Selama hampir sebulan, Kaka (vokal), Abdee (gitar), Ridho (gitar), Ivanka (bas) dan Bimbim (dram) berkutat di studio selama 12 jam setiap harinya, dimulai pukul 10 pagi hingga 10 malam untuk mewujudkan album impian mereka ini. Konon, sekitar 500 radio di Amerika sudah memutar lagu-lagu Slank dari album ‘Anthem’ sejak Slank melakukan tur promo di negara adidaya tersebut, Oktober 2008 silam. Dan berdasarkan permintaan dari para penggemar setia Slank di Tanah Air, versi lokal ‘Anthem’ akhirnya juga dirilis dengan tambahan bonus T-Shirt serta VCD “Slank World Tour 2008”.

Blues Saraceno sendiri bukan orang baru di industri musik di Amerika. Selain dikenal luas sebagai mantan gitaris Poison yang pernah terlibat di album ‘Crack a Smile... and More!’ (2000), ia juga tercatat sebagai gitaris session yang lumayan laris. Permainan gitarnya pernah dipakai di album penyanyi solo Michael Bolton dan Cher serta penulis lagu pop terkenal, Taylor Dayne. Blues pernah pula “menggantikan” posisi Eric Clapton di formasi bandnya Jack Bruce dan Ginger Baker (Cream).

Kini, selain menjalani profesi sebagai gitaris session dan produser, Blues juga menekuni profesi sebagai komposer untuk berbagai tayangan film serial, talk show atau reality show TV terkenal, di antaranya seperti “Friends” (NBC), “America's Next Top Model” (UPN), “Jimmy Kimmel Live” (ABC), “Fox Sports News” (FOX), “Wild On” (E!), “Last Comic Standing” (NBC) serta beberapa tayangan popular di MTV, seperti “Punk'd”, “The Osbournes”, “Pimp My Ride”, “Parental Control”, “Ashlee Simpson Show” dan “My Super Sweet 16” (MTV).

WAWANCARA : Jennifer Batten

DARI POP STAR KE INDIE



Jennifer Batten adalah gitaris yang terhitung paling lama mendampingi mendiang Michael Jackson sebagai gitaris turnya, dan telah menyaksikan serta mengalami berbagai pengalaman fantastis di industri hiburan termegah di dunia. Kini, ia cukup senang melakukan tur kecil-kecilan sendiri dengan kendaraan pribadi untuk mempromosikan album indie-nya.



***



Bisa dibilang, puncak karir Jennifer Batten memang terjadi saat ia terpilih mendampingi tur dunia Michael Jackson sebanyak tiga kali, masing-masing untuk promosi album ‘Bad’ (1987), ‘Dangerous’ (1992) dan ‘HiStory’ (1997). Namun di luar itu, Jennifer antara lain juga berhasil mendapatkan perhatian besar dari para pengamat gitar lewat permainan gitarnya di album solo ‘Above Below and Beyond’ (1992) yang diproduseri oleh gitaris Stevie Wonder, Michael Sembello. Gaya permainan gitar Jennifer yang unik dan original juga lantas menarik perhatian gitaris virtuoso Jeff Beck dan mengajaknya menjadi gitaris pendamping di bandnya dan bahkan sekaligus memberi kesempatan untuk mendukung penggarapan rekaman albumnya, ‘Who Else!’ (1999) dan ‘You Had It Coming’ (2001).

Sejak pertengahan tahun lalu, gitaris kelahiran New York AS berusia 52 tahun ini juga telah merilis sebuah album solo berjudul ‘Whatever’, dimana Jennifer memadukan audio dengan visual dari DVD untuk menunjukkan karyanya. Untuk mengulik lebih banyak tentang Jennifer, GitarPlus telah melakukan wawancara secara eksklusif dengannya beberapa waktu lalu, tak lama setelah kematian mantan “bos”nya, Michael Jackson.





Kita mulai dengan pengalaman Anda bersama Michael Jackson (MJ). Bagaimana Anda bisa terpilih sebagai gitaris pengiring di band turnya?



Saya diaudisi bersama 100 gitaris lainnya untuk keperluan “Bad Tour ‘87”. Beberapa hari setelah MJ melihat video audisinya, dia menyuruh seseorang menelpon saya untuk datang dan melakukan latihan bersama bandnya untuk melihat kemungkinannya.

WAWANCARA: RUSTY COOLEY

ULTRA SHRED!





Rusty Cooley adalah salah satu shredder yang paling disegani sepak terjangnya di Amerika dan bahkan dunia saat ini. Mark Tremonti menggambarkan, jika ada olimpiade yang berorientasi gitar, maka Rusty bakal menjadi salah satu pemenang terbaiknya. Jason Becker menyebut Rusty sebagai gitaris yang jauh lebih imajinatif dibanding Yngwie Malmsteen. Sementara oleh John Petrucci, Rusty adalah gitaris teknikal dengan kemampuan “ultra shred monster man”!



***



Rusty Cooley yang berasal dari Texas, AS mulai menggilai instrumen gitar ketika merayakan ultahnya yang ke- 15, di mana ia mendapatkan gitar pertamanya, sebuah gitar Peavey T27 serta sebuah ampli Peavey Decade. Sejak saat itulah, ia tenggelam dalam rutinitas penuh disiplin, menghabiskan delapan jam sehari untuk mengasah kemampuannya bermain gitar dan mengulik permainan para gitaris yang menjadi acuannya, antara lain seperti Yngwie Malmsteen, Randy Rhoads, Eddie Van Halen, Jason Becker, Frank Gambale hingga Allan Holdsworth. Saat masih duduk di bangku SMA, Rusty juga mendalami teori musik dan sempat mengikuti National Guitar Workshop. Di luar rock, Rusty juga menekuni musik-musik klasik dan jazz.

Selepas SMA, Rusty masuk perguruan tinggi dan mendalami teori dan sejarah musik serta mengikuti kelas piano. Pada tahap ini, Rusty lantas bergabung di band bernama Revolution yang konsep musiknya disebut-sebut sebagai perpaduan Skid Row dan Yngwie Malmsteen. Tahun 1996, Rusty mulai melakukan eksplorasi permainannya dengan gitar bersenar tujuh. Di tahun yang sama, Rusty juga sempat terpilih sebagai runner-up untuk program “Jason Becker Schoolarship Search”. Setelah membentuk band Outworld pada Oktober 1997, tiga tahun kemudian, Rusty merilis sebuah instruksional gitar berjudul “Shred Guitar Manifesto” yang berformat CD-ROM.

Tahun 2002, Rusty melangkah lebih jauh dengan mengeskplorasi teknik permainannya dengan menggunakan gitar bersenar delapan buatan Bill Conklin dari Conklin Guitars. Setahun kemudian, majalah Guitar One mendaulat Rusty sebagai gitaris ketujuh tercepat sepanjang masa. Kini, Rusty telah mengantongi endorsment untuk beberapa produk bergengsi seperti EMG pickups, Diamond Amplification, Morley, Intellitouch, Rocktron, Maxon, GHS strings, VHT, Conklin, Eventide serta gitar bersenar tujuh signature-nya, Dean RC7 Xenocide. Selain proyek solo serta berbagai kegiatan klinik, permainan gitar solo Rusty antara lain juga telah menghiasi album-album milik mantan kibordis Dream Theater, Derek Sherinian, di album band metal All Shall Perish, album tribute untuk Shawn Lane dan Jason Becker serta di DVD Mark Tremonti “The Sound and the Story”.

WAWANCARA: MICHAEL WILTON

SOULBLENDER







Michael Wilton akhirnya mengemban tugas sendirian sebagai gitaris saat penggarapan rekaman album terbaru band metal progresif senior asal Amerika Serikat, ‘American Soldier’ (Rhino/Warner), setelah tandemnya Mike Stone mengundurkan diri. Namun justru dalam kondisi ini, Michael menikmati proses kreativitas yang menurutnya jauh melebihi pengalaman-pengalaman sebelumnya.



***



Queensryche yang juga diperkuat Geoff Tate (vokal), Eddie Jackson (bas) dan Scott Rockenfield (dram) mulai menggarap materi lagu dan musik untuk ‘American Soldier’ sejak tahun 2008 silam. Di rekaman yang antara lain dilakukan di studio El Dorado Studios dan London Bridge Studios, Queensryche juga dibantu oleh produser Jason Slater dan Kelly Gray. Kelly sendiri merupakan mantan gitaris Queensryche era 1998 hingga 2001 yang selain membantu sedikit pengisian gitar, juga bertanggungjawab dalam pengolahan tata suara (mixing) serta berbagai hal yang berhubungan dengan teknis rekaman.

Lebih jauh tentang proses kreativitas Michael Wilton dalam menghasilkan serta mengolah pola permainan gitarnya yang terdengar megah di ‘American Soldier’, simak obrolan eksklusifnya dengan GitarPlus berikut ini:





Banyak review yang menyebut ‘American Soldier’ tidak memuat lagu-lagu yang berpotensi “hits” atau yang bakal menjadi lagu favorit penonton saat konser. Sebuah album yang dimaksudkan dibuat agar didengarkan secara keseluruhan. Pendapat Anda sendiri bagaimana...?



Sebagai sebuah album rekaman yang konseptual seorang artis pasti selalu mengatakan bahwa album personal seperti ini seharusnya didengarkan secara menyeluruh dari lagu awal hingga akhir untuk menangkap benang merah yang terjalin di sepanjang album. Seperti halnya album-album konseptual lainnya yang disajikan seperti ini juga memiliki beberapa lagu hits yang masih dimainkan di radio-radio hingga hari ini. Itu artinya kita tak akan pernah tahu lagu mana yang akan meledak dan menarik perhatian pendengar untuk menjadi sebuah lagu klasik di konser.



Saat menulis materi untuk ‘American Soldier’, apakah Anda membiarkan segalanya mengalir secara natural atau Anda berusaha mengacu pada tema lirik? Apa tantangan terbesar Anda saat ini?



Saat merekam album konseptual lagu-lagunya dikerjakan tanpa urutan, itu artinya secara kreativitas seperti merekam sebuah serpihan-serpihan teka-teki. Pada bagian tertentu bermetamorfosis ke rasa yang berbeda dan liriknya ditulis acak di sana-sini untuk memberikan saya gambaran secara visual. (Tapi) untuk sebagian besar bagiannya saya mencoba membiarkan style permainan saya mengalir secara natural.

WAWANCARA BURGERKILL

MIMPI DAN EKSEKUSI

Akhir Januari 2010 ini, Burgerkill mendapat kesempatan emas untuk tampil di panggung “Big Day Out”, sebuah festival musik bergengsi di Australia. Jika tak ada kendala, mereka akan sepanggung, atau tepatnya, mentas setelah penampilan Fear Factory, band metal asal AS. Itu salah satu kabar penting yang mengejutkan dari Burgerkill, selain tentunya, persiapan album terbarunya!

***

Australia sekali lagi akan menjadi pembuktian kualitas Burgerkill di kancah berskala Internasional. Sebelumnya, band metal underground asal Ujungberung, Bandung yang terbentuk sejak Mei 1995 ini sudah pernah “menjajah” negeri Kanguru tersebut lewat tur promo “Beyond Coma and Despair” serta festival “Soundwave 2009”. Kini, berkat aksi panggung yang meyakinkan di festival tersebut, Burgerkill kembali didaulat untuk menyambangi Australia selama tiga hari lewat paket “Burgerkill: Western Australia Tour 2010”, di mana salah satunya mereka akan meramaikan ajang bergengsi, “Big Day Out 2010”.

Bagi Burgerkill yang telah mengoleksi tiga album studio, yakni ‘Dua Sisi’ (2000), ‘Berkarat’ (2003) dan ‘Beyond Coma and Despair’ (2004) ini, kesempatan tersebut benar-benar datang tak disangka-sangka. “Ini menjadi mimpi yang menjadi kenyataan bagi kami,” ujar gitaris sekaligus pentolan Burgerkill, Eben, penuh suka cita. Menurut Eben, inilah masanya buat Burgerkill untuk bisa mengeksplor impian-impian yang telah lama terbenam. Inilah dampak positif dari kerja keras yang telah mereka lakukan selama ini.

Kini, band yang pernah menjadi opening act untuk konser Lamb of God dan The Black Dahlia Murder di Indonesia ini telah diperkuat vokalis Vicky yang masuk menggantikan posisi mendiang Ivan “Scumbag”. Kehadiran Vicky mereka anggap telah membawa nuansa baru di tubuh Burgerkill yang diharapkan nantinya juga akan memberi konstribusi positif di penggarapan album baru yang rencananya akan digarap awal tahun 2010 ini. Secara konsisten, para personel Burgerkill – Eben, Agung (gitar), Ramdan (bas), Andris (dram) dan Vicky - ingin terus menghasilkan sesuatu yang baru, hal yang mereka impikan. Impian yang menjadi hal mendasar untuk memcapai harapan, yang buat mereka harus dieksekusi. Itulah filosofi yang dipegang teguh Burgerkill hingga setidaknya membuat mereka bisa mencapai keberhasilan seperti saat ini.

Lebih jauh dengan Burgerkill, GitarPlus mendapat kesempatan untuk berbincang dengan kedua gitarisnya yang tak bisa dipungkiri merupakan ujung tombak pembentukan karakter musik Burgerkill yang kaya akan beat, Eben dan Agung Ridho Widhiatmoko - atau yang lebih akrab disapa Agung - di markas Burgerkill di Bandung.

WAWANCARA EKSKLUSIF KIKO LOUREIRO

MUSICAL BLAST!

Di luar kesibukannya bersama bandnya, Angra, gitaris asal Rio de Janeiro, Brasil ini kembali merilis album solo instrumentalnya yang berjudul ‘Fullblast’. Di sini, ia semakin memperlihatkan kelasnya sebagai salah satu gitaris solo berbakat berskala dunia yang tak sekadar mengandalkan shredding skills, namun juga kemampuan penulisan lagu yang matang. Seperti yang diungkapkannya sendiri kepada GitarPlus.

***

Kiko Loureiro mulai mengenyam pendidikan musik dan memainkan gitar akustik saat berusia 11 tahun. Lalu pindah ke gitar elektrik dua tahun kemudian. Hanya butuh tiga tahun sesudahnya, Kiko sudah mulai bergabung di beberapa band. Dan pada usia 19 tahun, ia direkrut untuk memperkuat formasi Angra, band beraliran power metal popular asal Brasil yang masih dihuninya hingga hari ini. Di samping itu, Kiko juga tetap menjalani karir solonya dengan merilis album-album solo yang bercorak rock, metal, Samba dan jazz, video instruksional dan aktif melakukan workshop atau klinik ke berbagai belahan dunia. Hingga saat ini, Kiko di antaranya tercatat telah dikontrak sebagai pengguna resmi instrumen merk Tagima dan ESP untuk gitar elektrik, gitar akustik Takamine, ampli Brunetti dan Laney, senar D'Addario, pickup Seymour Duncan, serta perangkat efek Zoom dan Morley.

Bisa ceritakan proses di balik penggarapan album ‘Fullblast’?

Saya mulai mengumpulkan ide-ide lama dan baru selama setengah tahun di 2008. Saya membuat demo yang lengkap dengan permainan dram yang telah diprogram, perkusi, bas, gitar dan kibor. Lalu saya memperdengarkannya ke Mike Terrana (dram) dan Felipe Andreoli (bas) agar mereka bisa membangun ide-ide dengan gaya mereka sendiri sebelum masuk rekaman. Untuk rekaman sendiri selalu merupakan proses belajar dalam banyak hal. Menggarap komposisi musik, mengorganisir banyak hal yang berkaitan dengan produksi, equipment, kepentingan sound dan tone, mixing... Terlalu banyak untuk disebutkan.

WAWANCARA COREY BEAULEU

ANTARA MARTY FRIEDMAN DAN GEORGE LYNCH

Trivium kini sedang menjalani rangkaian tur terakhir untuk promo album ‘Shogun’ (2008) yang dimulai di Jakarta, Indonesia, 11 Februari 2010 lalu dan bakal berakhir di Inggris, Maret 2010 mendatang. Setelah itu, band asal Florida, Amerika Serikat ini langsung masuk studio rekaman untuk menggarap album selanjutnya bersama pemain dram terbarunya, Nick Augusto. Lewat obrolan eksklusif yang difasilitasi Java Musikindo sebagai penyelenggara konser Trivium di Jakarta, gitaris Corey Beaulieu membeberkan rencana-rencana Trivium di album selanjutnya, serta tentunya, kapasitas dan latar belakang pria kelahiran 22 November 1983 ini sendiri sebagai gitaris.





Kalian punya pemain dram baru sekarang, apa yang terjadi?



You know, ada hal-hal yang tak bisa berjalan sebagaimana yang kami harapkan, mungkin memang takdirnya begitu, hal yang terbaik buat Trivium adalah berpisah dan untungnya... you know, kami hanya punya waktu sekitar dua minggu untuk mencari dramer baru di antara jadwal tur, dan kami tahu kemampuan permainan Nick (Augusto), dia membantu kami, kami telah mengenalnya cukup lama, seorang pemain dram yang luar biasa, dia datang dan memperlihatkan kerja yang bagus.... jadi kami beruntung menemukan dia....



Saya dengar kalian sudah merekam lagu baru dengan Nick....



Yeah, kami baru saja menulis saat break, merekam dua lagu di studio, satu lagi lagu daur ulang, lagu Sepultura yang berjudul “Slave New World” yang belum ada jadwal rilisnya atau apa pun. Satu lagi untuk (keperluan) video game. Jadi lagu-lagu itulah yang kami rekam pertama kali dengannya (Nick). Di tur, kami juga telah menulis lagu dan akan menggarapnya begitu ada kesempatan. Nick telah membawa gaya yang berbeda, dan elemen berbeda di band ini. Sangat menyenangkan dan saya sudah tidak sabar untuk mulai menggarap materi-materi baru....



(lagu baru yang dibuat Trivium berjudul ‘Shattering the Skies Above’ untuk video game “God of War III”, juga akan dirilis oleh Roadrunner Records dalam bentuk album kompilasi mini, menghadirkan Trivium, Killswitch Engage, Dream Theater, Taking Dawn, Opeth dan Mutiny Within, Red.)



Di album ‘Shogun’, kalian seperti menggabungkan konsep ‘Ascendancy’ dan ‘The Crusade’. Lalu, kira-kira seperti apa konsep musik di album berikutnya?



Ya, (di ‘Shogun’) memang kira-kira seperti itu, kayaknya lebih ke gaya vokalnya, ada scream dan bernyanyi, seolah saling bergantian dan di lagu-lagunya lebih agresif dan banyak screaming serta bernyanyi di bagian chorus.... Jadi kayaknya lebih fokus ke pola itu, tapi saya pikir itu semua tergantung kebutuhan lagu. Kami ingin melakukan pendekatan yang berbeda dan sepertinya terasa nyaman pada saat itu.

Kami (kini) sudah menulis sekitar 30an lagu dan banyak bagian yang tetap menunjukkan ciri khas Trivium, seperti banyak riff berat, sisi yang melodik, soundnya lebih dewasa dan proses penulisannya kini lebih mudah, lebih kreatif, dan kami banyak mengerjakannya saat tur, kami ingin membuat rekaman yang benar-benar heavy, lebih melodik dan banyak bagian yang bernyanyi....



Bagaimana dengan konsep gitar di album berikutnya, apakah sudah terpikirkan?



Well, kami tidak pernah terlalu berpikir ke arah itu... Kami selalu memulai dengan menulis riff, kalau ada yang disukai kami simpan tapi kalau tidak kami membuangnya. Kami tidak pernah benar-benar punya skema keseluruhan, atau hal-hal semacam itu... Kami cenderung ke penulisan lagu, ada berjuta-juta not yang bisa menjadi bagian dari permainan (gitar)... jadi sepanjang terdengar bagus dan cocok dengan (kebutuhan) lagunya maka akan kami lakukan... Jadi beberapa materi mungkin sangat sederhana, beberapa lainnya sangat teknikal, kami tidak berusaha untuk pamer kemampuan, tapi kami hanya berusaha menulis lagu yang terbaik. Tak ada yang benar-benar sulit karena kami yang menulisnya, jadi tidak terlalu menantang sehingga kami tak terlalu memikirkan hal-hal yang teknikal....



Di album ‘Crusade’ kalian memainkan komposisi instrumental yang teknikal....



Ya, kami tidak pernah benar-benar menulis lagu instrumental, dan itu tadinya tidak dimaksudkan untuk menjadi instrumental... Setiap riff selalu melewati proses untuk menjadi lagu, tapi riff-riff yang ini tidak bernyanyi dan Matt (Heafy) merasa tidak seperti lagu normal lainnya, jadi kami menjadikannya instrumental. Jadi terjadi begitu saja, tapi kami tak pernah berniat menulis instrumental atau merencanakannya seperti itu….

WAWANCARA EKSKLUSIF SUICIDE SILENCE

BAKAT BARU DEATHCORE

Lewat album terbarunya, ‘No Time to Bleed’ (Century Media), pengibar deathcore ini makin menancapkan taringnya sebagai band yang mulai disegani di scene metal di Amerika Serikat saat ini. GitarPlus berkenalan dengan Suicide Silence lewat obrolan eksklusif dengan salah satu gitarisnya, Mark Heylmun.

***

Suicide Silence dibentuk di Riverside, California, pada tahun 2002 dengan formasi awal Mitch Lucker dan Tanner Womack (vokal), Chris Garza dan Josh Goddard (gitar), Mike Bodkins (bas) dan Alex Lopez (dram). Namun setelah tampil sekali, Tanner dipecat sebelum band ini memulai rekaman demo pertamanya. Sebelum mulai menggarap album pertamanya, Mark Heylmun masuk menggantikan Josh. ‘The Cleansing’ yang dirilis pada September 2007 menjadi album debut Suicide Silence yang mencatat angka penjualan kedua terbesar sepanjang sejarah Century Media. Pemain bas baru, Dan Kenny lalu bergabung saat Suicide Silence memulai penggarapan rekaman album berikutnya, ‘No Time to Bleed’. Setelah perilisan album ini, Suicide Silence berhasil mendapatkan penghargaan sebagai “Best New Talent” di ajang bergengsi Revolver Golden Gods Awards yang diselenggarakan April 2009 silam. Proses rekaman ‘No Time to Bleed’ sendiri mereka kerjakan di New Jersey bersama Machine, produser yang antara lain pernah sukses menangani album milik Lamb of God.

Apa yang bisa Anda katakan tentang ‘No Time to Bleed’?

Adalah tahapan kami berikutnya. Kami berkembang dengan cepat sebagai musisi dan sebagai band dan beginilah kami saat ini. Kami menginginkan sesuatu yang heavy tapi di saat yang sama juga (terdengar) beratmosfir dan terkadang merefleksikan pengaruh-pengaruh kami. Album ini akan menarik minat Anda, Anda akan merinding dan serasa ingin melempar kucing Anda keluar dari ruangan.

Apa perbedaannya dibanding album sebelumnya?

Masih terdengar seperti kami hanya lebih terasa organik. Kami menyusunnya bersama sebagai sebuah band dimana sebelumnya kami lebih sering bekerja secara individual. Album ini lebih dipikirkan dan lebih lebar.

Kali ini, bagaimana proses penulisan komposisi gitar? Apakah Anda dan Chris Garza selalu berdiskusi?

Saya dan Garza selalu membicarakan apa yang ingin kami lakukan secara individual. Kami adalah dua musisi yang berbeda, kami menyadarinya sehingga kami sering sekali berargumen. Pada dasarnya proses dimulai persis seperti album rekaman kami sebelumnya namun lantas kebanyakan berakhir dengan banyak melakukan jamming. Kami merekamnya saat memainkan riff-riff dan melihat ke mana arahnya. Kami meminta Alex (Lopez) untuk memainkan sesuatu yang sederhana dan kami lalu mengolahnya dari situ. Kadang-kadang kami menghabiskan waktu seharian untuk itu dan menjadikannya sebuah lagu di keesokan harinya.

WAWANCARA EKSKLUSIF NUNO BETTENCOURT

“SAYA TELAH MENJADI PENYANYI YANG BAIK”

Setelah sempat berkelana dengan berbagai proyek musikal, mulai dari Mourning Widows, Population 1, DramaGods hingga The Satellite Party, akhirnya gitaris virtuoso Nuno Bettencourt kembali menghidupkan Extreme yang telah “tidur” selama 13 tahun, band bentukan 1985 yang pertama kali menjulangkan namanya sebagai gitaris berbakat, serta band yang telah mencetak angka penjualan album hingga 10 juta keping di seluruh dunia dan berhasil menelurkan ‘More Than Words’, single yang kini telah menjadi salah satu lagu rock balada terbaik sepanjang masa.

***

Nuno Bettencourt yang saat ini tercatat sebagai gitaris utama di band tur penyanyi R&B Rihanna, memulai reuni Extreme sekitar November 2007 bersama vokalis Gary Cherone, basis Pat Badger serta dramer baru, Kevin Figueiredo, lebih dari satu dekade sejak Extreme merilis album ‘Waiting for the Punchline’ (1995). Mereka lantas mulai merekam materi lagu-lagu baru di NRG Studios di Los Angeles, AS, dimana Nuno sendiri yang menangani produksi dan mixing. Hasilnya, awal Agustus 2008, album baru berjudul ‘Saudades de Rock’ dirilis dan langsung diikuti tur promo keliling dunia bertajuk “Take Us Alive” yang menyinggahi sekitar 75 kota, termasuk Jakarta, Indonesia sebagai kota penutup, pada 15 Desember 2008 silam.

Tur promo ‘Saudades de Rock’ lalu dilanjutkan lagi pada Mei 2009 di kawasan Amerika dan berakhir di Boston, kampung halaman Extreme, pada 8 Agustus 2009. Nah, konser terakhir yang digelar di House of Blues inilah yang kemudian direkam secara khusus ke dalam format CD/DVD dan telah dirilis Frontiers Records dengan judul “Take Us Alive” sejak April 2010 lalu. Menampilkan lagu-lagu terbaik Extreme sepanjang karirnya, seperti ‘Decadence Dance’, ‘Rest in Peace’, ‘Play with Me’, ‘Midnight Express’, ‘Cupid’s Dead’, ‘Get the Funk Out’, ‘Hole Hearted’ dan ‘More Than Words’.

WAWANCARA EKSKLUSIF SLASH

“PENYANYI YANG TERPILIH DIDIKTE OLEH MUSIK SAYA!”

Nasib bandnya, Velvet Revolver yang tidak menentu sejak ditinggal vokalis Scott Weiland membuat Slash mau tidak mau mengalihkan konsentrasi pada penggarapan album solo yang telah lama diidam-idamkannya. Tanpa ia sadari, mantan gitaris Guns N’ Roses ini ternyata telah melibatkan banyak penyanyi dan musisi tamu untuk berpartisipasi saat proses penggarapannya berlangsung. Hingga album tersebut rampung, Slash berhasil menggaet nama-nama besar seperti Ozzy Osbourne, Chris Cornell, Alice Cooper, Lemmy Kilmister (Motorhead), Iggy Pop, Kid Rock, Adam Levine (Maroon 5), M. Shadows (Avenged Sevenfold), Myles Kennedy (Alter Bridge), Dave Grohl (Foo Fighters), Andrew Stockdale (Wolfmother), Flea (Red Hot Chili Peppers) serta dua penyanyi cewek R&B papan atas, Fergie (Black Eyed Peas) dan Nicole Scherzinger (The Pussycat Dolls). Selain mereka, Slash juga melakukan reuni kecil-kecilan dengan mengajak serta tiga mantan personel Guns N’ Roses era album ‘Appetite for Destruction’, yakni Duff McKagan, Izzy Stradlin dan Steven Adler.

***

Album ‘Slash’ sendiri lantas dirilis secara bertahap. Jepang menjadi negara pertama yang bisa menikmati album tersebut secara utuh lewat pengunduhan resmi secara digital pada 31 Maret 2010. Lalu berturut-turut Australia, Spanyol, Perancis, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman dan Brasil. Di Indonesia sendiri, ‘Slash’ dirilis oleh Universal Music Indonesia pada 19 April dan mendapatkan hak istimewa (juga untuk beberapa negara di Asia, kecuali Jepang) untuk menyertakan tiga trek bonus, yakni lagu ‘Baby Can't Drive’ yang menghadirkan Alice Cooper dan Nicole Scherzinger, lalu versi daur ulang lagu ‘Paradise City’ (Fergie & Cypress Hill) serta lagu ‘Sahara’ yang menghadirkan Koshi Inaba, vokalis band rock B’z asal Jepang.

WAWANCARA REB BEACH

“SAYA MENCOBA SWEEP-PICK SELAMA 10 TAHUN DAN TAK PERNAH BISA!”
Reb Beach mungkin tidak terlalu menonjol dari segi teknikal, tapi ia punya catatan karir yang sangat mengesankan sebagai seorang gitaris. Gitaris kelahiran Pittsburgh, Pennsylvania, AS ini kini tergabung di dua band sekaligus, yakni Winger dan Whitesnake. Sebelumnya, Reb pernah menggantikan posisi George Lynch di Dokken, Jeff Watson di Night Ranger serta mendukung tur Alice Cooper Band. Lalu, lulusan Berklee College of Music ini sempat pula merilis album solo berjudul ‘Masquerade’ (2002).
Di Whitesnake, Reb mulai bergabung pada tahun 2003 dan langsung dilibatkan di DVD konser “Live: In The Still of the Night” (2004) dan “Live: In The Shadow Of The Blues” (2005) serta proses penggarapan album ‘Good to Be Bad’ (2008). Sejak 2006 silam, Winger yang pernah mencetak hits berjudul ‘Headed for a Heartbreak’ dan ‘Miles Away’ kembali terbentuk setelah sempat tutup buku pada pertengahan ‘90an. Memanfaatkan kekosongan di Whitesnake, Reb lalu kembali memperkuat band yang membesarkannya itu dan merilis album berjudul ‘IV’ (2006). Setahun sesudahnya, Reb menjalani tur Whitesnake dan Winger sekaligus. Kini, kembali bersama Winger, Reb merilis ‘Karma’ yang dirilis Frontiers Records, pada 2009 lalu.
April lalu, GitarPlus mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Reb Beach secara eksklusif untuk membahas peranannya di ‘Karma’ serta pengalamannya sebagai gitaris kedua di Whitesnake.

WAWANCARA MICHAEL ANGELO BATIO “SAYA BANGGA DENGAN TEKNIK ‘OVER-UNDER’”

Di kalangan gitaris, terutama rock, rasanya tak ada yang tak mengenal shredder ‘sinting’ satu ini. Ia paling dikenal lewat atraksi permainan rumit yang menggunakan kedua tangannya sekaligus - kanan dan kiri - di gitar berleher ganda berbentuk “V” (twin-necked, V shaped guitar). Dan selain itu, sampai saat ini, ia telah berkali-kali didaulat sebagai shredder terbaik dan tercepat versi beberapa majalah gitar bergengsi di Amerika dan Eropa. Tahun lalu, Michael Angelo Batio (MAB) telah merilis sekuel album “Hands Without Shadows 2 - Voices” dimana ia memainkan beberapa komposisi milik gitaris dan musisi idolanya yang tentu saja dimainkan dengan gayanya sendiri. GitarPlus beruntung mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan MAB secara eksklusif dan inilah hasilnya.





***





MAB mulai mengenal gitar (dan piano) pada usia 5 tahun dan langsung menekuninya lima tahun kemudian. Hanya butuh dua tahun, konon ia sudah bisa mengalahkan kecepatan permainan gitar gurunya. Empat tahun kemudian MAB sempat melirik jazz lalu sukses memperoleh gelar di Northeastern University, Illinois untuk bidang teori musik dan komposisi. Setelah itu, kesibukan sebagai session player pun mulai ditekuni, bahkan sempat menggarap ilustrasi musik untuk beberapa iklan produk. Tahun 1984, MAB mulai aktif di kegiatan band, bergabung di band metal Holland dan sempat merilis album. Lima tahun kemudian membentuk band Nitro dan merilis tiga album studio, yakni “O.F.R.”, “Nitro II: H.W.D.W.S.” dan “Gunnin’ for Glory”.


Untuk memuluskan karirnya di musik, April 1993, MAB mendirikan label rekaman sendiri bernama M.A.C.E. Music dan merilis album solo pertamanya, “No Boundaries” (1995). Melalui label inilah, MAB semakin leluasa mengembangkan kreavitas bermusiknya, merilis beberapa album serta DVD instruksional gitar. Seiring dengan itu pula MAB melakukan inovasi terhadap permainan gitarnya agar selalu terlihat menarik dan fresh. Tahun 2005, ia merilis “Hands Without Shadows”, dimana MAB mendaur ulang lagu-lagu para gitaris dan band favoritnya seperti Metallica, Randy Rhoads, Deep Purple, Led Zeppelin, Aerosmith, Bob Dylan dan Jimi Hendrix.


Empat tahun kemudian, MAB melanjutkan proyek album tribute ini dengan merilis “Hands Without Shadows 2 – Voices”, dimana kali ini dibumbui dengan tambahan vokal. Lagu-lagu yang diolahnya antara lain komposisi medley lagu-lagu Pantera, Eric Clapton, Van Halen serta nomor klasik milik Megadeth, “Symphony of Destruction”.






Saat Anda merilis “Hands Without Shadows 2: Voices”, kenapa Anda menambahkan vokal? Apa konsep yang melatari album ini?



Saya ingin membuat ‘lanjutan’ dari album “Hands Without Shadows” (HWS). Tadinya saya ingin mempertahankannya tetap sebagai album instrumental, namun ketika saya menambahkan unsur vokal, ternyata saya sangat menyukainya dan merilisnya, seperti yang telah Anda dengar saat ini. Saya juga ingin tetap mengacu ke pengaruh-pengaruh musikal saya dalam rock dan metal. Saya pikir satu hal yang telah saya pelajari di sini adalah betapa hebatnya artis-artis tersebut. Saya tahu, tidak mudah untuk merancang ulang lagu-lagu Pantera. Tidak menirunya, tapi memainkannya sesuai dengan versi saya sambil tetap mempertahankan kegaharan versi aslinya.

WAWANCARA EET SJAHRANIE “GITARIS SOLO ITU ‘SEPI’....”

Setelah penantian selama hampir lima tahun, melalui proses penggantian label rekaman, reformasi personel di tubuh Edane, perubahan cita rasa dalam konteks musikalitas, hingga segala tetek-bengek teknis rekaman, akhirnya band besutan Eet Sjahranie, salah satu gitaris rock terbaik Tanah Air, ini bisa merilis album terbarunya yang berjudul “Edan” (Logiss Records).

Sesuai judulnya, materi lagu di album ini memang sangat tepat disebut ‘edan’. Masa penggodokan yang terbilang lumayan lama seolah terbayar semuanya. Sepintas, sedikit masih mengacu ke format musik album sebelumnya, “Time to Rock” (2005) yang memadukan komposisi hard rock dengan nuansa metal yang modern. Namun di beberapa lagu, misalnya seperti “Living Dead”, “Said I’m Alive” dan “No More Tired Life”, Eet lebih jauh mengeksplorasi corak metal modern yang kental. Bukan hanya dari segi komposisi lagu atau aransemen, tapi juga pengolahan soundnya yang semakin menggila.

Untuk album ini, secara resmi Edane hanya dihuni dua personel, yakni Eet sendiri dan penggebuk dram sejak awal, Fajar Satritama. Vokal diisi oleh Ervin Nanzabakri, sementara porsi bass dimainkan Eet sendiri. Karena setelah perilisan “Time to Rock”, pembetot bass Iwan Xaverius tak lagi memperkuat Edane. Dalam perjalanan proses penggarapan “Edan”, Edane sempat dihuni vokalis Aditya RK yang masuk menggantikan Robby Matulandi. Tapi karena kendala ketidaksiapan Adit untuk berkomitmen dengan Edane, akhirnya posisinya pun digantikan oleh Ervin.

Rekaman “Edan” sendiri digarap di dua tempat, yakni di Studio 18 dan “edantortion studio”, milik Eet. Sementara mixing kembali ditangani di Slingshot Studio, oleh Stephan Santoso yang sebelumnya juga dipercaya menggarap “Time to Rock”. Lalu untuk proses mastering, seperti produk Logiss Records lainnya, juga dikerjakan oleh Don Bartley, di Benchmark Mastering, Sydney, Australia.

Sekitar seminggu sebelum perilisan resmi album “Edan”, Eet menyediakan waktu khusus untuk berbincang dengan GitarPlus mengenai banyak hal, revolusi musik Edane, tentang gitar, teknis rekaman, dan masih banyak lagi. Inilah kutipan selengkapnya:

Bicara tentang album baru, konsep apa yang ditawarkan, apa bedanya dibanding album sebelumnya?

Dari dulu, gue nggak pernah tahu persisnya kalau album baru itu menawarkan apa. Jadi gue biasanya by insting aja. Karena emang naluri berkarya terus ada. Bikin aja. Jadi, tidak pernah terpikirkan gue mau menawarkan ini atau mau menawarkan itu. Tapi bisa dikatakan hampir setiap album, gue pasti ‘Ah, gue pengen ini’, tapi gue tidak bilang menawarkan. Karena kalo gue menawarkan itu (seolah) semacam tes. Ya, gue tidak tahu kata-kata persisnya apa, tapi yang jelas, ngga pernah terpikirkan konsep seperti apa. Jadi semua itu insting aja. Dari dulu sampai sekarang. Malah akhirnya gue menganalisa sendiri, entah itu suatu kekurangan yang perlu gue perbaiki atau apa, nggak tahu. Tapi yang jelas, makanya seringkali terlalu bervariasi jadinya. Bahkan sejak album pertama (“The Beast”). Pernah kami mencoba untuk lebih fokus dikit di album “Jabrik”. Katakanlah lebih ke arah early 90’s mainstream rock metal. Tapi akhirnya, gue jengah juga lama-lama. Karena terlalu terbiasa beragam, itu yang ada. Tapi gue tidak menutup kemungkinan lain kali untuk lebih fokus, kalau memang pada akhirnya gue punya tim yang kuat. Kuat alam arti semuanya, supported, cooperative dan sebagainya dan memang punya kemampuan. Bisa aja gitu. Cuma gue masih belum menentukan fokus ke mana? Yang jelas, gue main musik nggak pernah mikirin main musik apa . Just have to play rock n roll dan sekitarnya. Kadang heavy, kadang ‘hahaha’, ya gitulah.

“IMPROVISASI SOLO TERDENGAR LEBIH MENAKJUBKAN”

Steve Morse dikenal sebagai gitaris dengan rentang permainan yang sangat lebar, mencakup corak rock, country, funk, jazz, klasikal hingga fusion, yang telah tertoreh lewat puluhan karya album bersama bandnya, Dixie Dregs, Steve Morse Band, Kansas hingga Deep Purple. Kini, di luar kesibukannya tur bersama Deep Purple dan Steve Morse Band, Steve menyisihkan waktu menggarap album “Angelfire” (Radiant Records), sebuah proyek musikal yang berbeda jauh dari apa yang ia lakukan selama ini. Di sini, Steve berkolaborasi dengan penyanyi cantik belia pendatang baru, Sarah Spencer dan menghasilkan olahan musik akustik bernuansa relaksasi, didominasi alunan folk yang berpadu dengan elemen klasikal, yang digambarkan seperti mempertemukan Sarah McLachlan dengan John McLaughlin.

Hingga di usianya yang sudah kepala lima, Steve Morse yang sudah mengantongi lebih dari 40 album rekaman ini sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda penurunan kualitas maupun kreativitas sebagai salah seorang gitaris rock terbaik di dunia selama bertahun-tahun. Padahal ia telah memulai karir profesionalnya sebagai musisi dan gitaris pada tahun 1975, saat ia pertama kali membentuk band Dixie Dregs. Itu terjadi tak lama setelah ia merampungkan studi permainan gitar jazz dan klasikal di Miami University, AS.

Karirnya kemudian terus berkembang, dengan mendirikan Steve Morse Band tahun 1983. Tiga tahun kemudian, diajak pula bergabung dengan band rock legendaris, Kansas dan menghasilkan beberapa album. Lalu, sambil tetap menjalani karir solonya, tahun 1994, Steve Morse yang pernah lima kali berturut-turut meraih gelar “Gitaris Terbaik” versi pembaca majalah terbitan AS, Guitar Player ini direkrut band rock legendaris lainnya, Deep Purple untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan Ritchie Blackmore.

Steve memulai sepak terjangnya di band itu lewat rilisan album “Purpendicular” (1996). Tahun 2003, Steve Morse pernah pula menjalani proyek band Living Loud bersama vokalis Jimmy Barnes dan dua mantan personel Ozzy Osbourne, basis Bob Daisley serta dramer Lee Kerslake. Terakhir, sejak 2007 lalu, Steve mulai menekuni materi musik untuk album “Angelfire” yang akhirnya dirilis sejak Juni 2010 lalu. GitarPlus berhasil mendapatkan kesempatan eksklusif untuk melakukan tanya-jawab dengan Steve Morse, seputar Angelfire, Steve Morse Band dan tentu saja Deep Purple.

wawancara Jubing Kristianto “SAYA GITARIS TANPA WILAYAH”

“Kaki Langit” merupakan karya album keempat buat Jubing, setelah “Becak Fantasy” (2007), “Hujan Fantasy” (2008) dan “Delman Fantasy” (2009). Tentu saja, konsep yang diterapkan gitaris yang tercatat pernah dianugerahi Distinguished Award di ajang “Yamaha South-East Asia Guitar festival” (1984) ini masih menonjolkan eksplorasi aransemen yang hanya mengandalkan permainan finger style di satu gitar akustik secara total.

Hanya, untuk memberikan nuansa berbeda, Jubing sedikit-sedikit menyelipkan elemen instrumen lain di dua lagu di “Kaki Langit”. Dan di komposisi berjudul “Canon”, Jubing ‘terpaksa’ menyampur permainan tiga gitar untuk mendapatkan ‘nyawa’ lagu tersebut. Lebih jauh tentang “Kaki Langit”, inilah obrolan khususnya dengan GitarPlus.

Apa yang membedakan “Kaki Langit” dengan album-album sebelumnya?

Yang membedakan, pertama, yang pasti jumlah komposisi sendiri lebih banyak. Sebelumnya belum pernah sampai tujuh (lagu). Dan ini memang atas anjuran pak Wandy Gaotama (produser, pemilik label IMC Record). Sekarang banyakin yang komposisi sendiri. Sudah mulai berani gitulah. Maka itu jadi agak tertunda sedikit, lebih lama. Saya nggak tahu ya idealnya berapa (jarak) dari album ke album lainnya. Selama ini setahun-setahun, kan. Nah, ini satu setengah tahun baru selesai. Jadi enam bulan dari keinginan semula.

Tohpati 'RIOT' ADALAH GUE SEBENARNYA!

Hanya dalam waktu dua hari, Tohpati berhasil melahirkan sebuah album trio berjudul “Riot” (Pos Entertainment), yang katanya justru tidak direncanakan untuk menjadi album. Di sini, Tohpati melakukan napak tilas terhadap rock, jenis musik yang sempat digelutinya saat memulai menekuni instrumen gitar.





Lepas dari kesibukan penggarapan album terbaru Trisum yang berjudul “Five In One”, Tohpati mencari kesegaran baru dengan membentuk Tohpati Bertiga, format trio yang juga didukung pembetot bass Indro Hardjodikoro (Trisum/Ethnomission), tandem setia Tohpati sejak era awal ‘90an, serta Adityo Wibowo, yang juga dikenal sebagai dramer trio Gugun Blues Shelter. Formasi inilah yang terlibat di pembuatan album “Riot”.





Menurut pemilik nama lengkap Tohpati Ario Hutomo ini, ia sekali-sekali ingin lepas dari imej clean yang selama ini melekat di gaya permainan gitarnya. Makanya, saat rekaman “Riot”, gitaris yang juga tergabung di grup jazz progresif simakDialog ini benar-benar bermain lepas dengan distorsi. Sengaja dibuat ‘kasar’, tanpa proses edit maupun overdub. Yang salah dibiarkan salah tanpa proses perbaikan. “Malah rekaman kayak gini yang seru. Benar-benar ‘rusuh’,” umbarnya.


Tohpati merekam “Riot” di studio milik Krishna Balagita (mantan kibordis ADA Band) di Pela, kawasan Jakarta Selatan. Dulunya, studio ini merupakan markas band GIGI yang sudah agak terbengkalai, alias jarang dipakai. “Karena ini produk indie, jadi malas sewa studio mahal-mahal,” katanya beralasan. Karena kondisi studio yang kosong melompong, jadi saat latihan materi musik “Riot”, Tohpati, Indro dan Bowo harus memboyong peralatan masing-masing, seperti ampli dan perangkat dram.

Nathan East (Fourplay) "CHUCK LOEB ADALAH FOURPLAY VERSI BARU"

Kuartet jazz kontemporer asal AS, Fourplay baru saja merilis album barunya, “Let’s Touch the Sky” yang diperkuat gitaris baru, Chuck Loeb. Pembetot bass, sekaligus salah satu pendirinya, Nathan East menyediakan waktu berbincang dengan GitarPlus, membahas Fourplay, Chuck Loeb dan karir musiknya.



Sejak terbentuk tahun 1991 silam, formasi awal Fourplay terdiri atas Bob James (kibor), Lee Ritenour (gitar), Nathan East (bass) dan Harvey Mason (dram). Tahun 1997, Lee Ritenour hengkang dan Fourplay memilih Larry Carlton sebagai pengganti gitaris jazz legendaris tersebut. Namun di tahun 2010, Larry mengundurkan diri dan digantikan oleh Chuck Loeb. Formasi terakhir inilah yang tampil di “Java Jazz Festival 2011” di JIExpo Kemayoran, Jakarta, 4 Februari 2011 lalu.



Fourplay telah menikmati kesuksesan komersil melalui 11 album selama 18 tahun eksistensi mereka. Nathan dkk memadukan unsur R&B dan pop ke dalam adonan musiknya yang terfondasi kuat oleh akar jazz. Album debutnya, “Fourplay” (1991) terjual lebih dari satu juta keping dan pernah nangkring di posisi puncak di Billboard Contemporary Jazz chart selama 33 minggu. Album berikutnya, “Between the Sheets” (1993) kembali mencapai posisi puncak, mendapat sertifikat Gold dan masuk nominasi Grammy Award. Begitu juga di album ketiganya, “Elixir” (1995) yang lagi-lagi meraih Gold dan berada di puncak chart selama lebih dari 90 minggu.

Sekitar beberapa menit sebelum tampil menggelar klinik bass untuk mempromosikan Yamaha BB Series di Yamaha Musik Indonesia, Jakarta, Sabtu, 5 Februari 2011 lalu, Nathan East menyediakan waktu khusus untuk melakukan wawancara dengan GitarPlus. Selain bersama Fourplay, karir pembetot bass kelahiran Philadelphia, AS, 8 Desember 1955 ini juga tercatat pernah dihiasi kolaborasi dengan seabrek band serta musisi kaliber dunia. Di antaranya seperti Eric Clapton, Joe Satriani, Phil Collins hingga Stevie Wonder. Ia juga rekaman dengan deretan panjang artis dunia, termasuk dengan mendiang Michael Jackson, lalu Madonna, Whiteny Houston, Baby Face, George Benson, Anita Baker hingga Beyonce.



Ceritakan tentang album baru Fourplay, sekarang ada gitaris baru.…

Dia (Chuck Loeb) seorang gitaris yang bagus, orangnya baik dan asyik untuk diajak kerjasama. Banyak sekali gitaris hebat tapi Chuck-lah yang paling cocok untuk Fourplay versi baru.



Apa yang Anda maksud dengan versi baru?

Versi baru untuk dekade berikutnya. Setiap dekade kami terlihat seperti (selalu) punya gitaris yang berbeda. Di era ‘90an ada Lee Ritenour, Larry (Carlton) di tahun 2000an dan sekarang Chuck (Loeb) masuk ke dekade ketiga.



Bisakah Anda katakan versi baru ini juga tampil dengan gaya permainannya yang berbeda?

Saya rasa demikian. Dia (Chuck) feeling-nya lebih ke jazz progresif. Kebalikannya dengan Larry yang lebih ke blues. Tapi kedua gitaris tersebut sama-sama memberikan kontribusi yang hebat di Fourplay. Kami senang memiliki Chuck di band kami.

Death Angel“DEATH ANGEL BERPIJAK PADA PENGKHIANATAN DAN DENDAM!”

Di awal konser, sepertinya Death Angel ingin mengajak bernostal’gila’ penonton dengan menhajar nomor-nomor lawas. Dua lagu berikutnya, “Evil Priest” dan “Mistress of Pain” juga dicomot dari album yang sama. Namun setelah itu lompat ke album terbaru “Relentless Retribution” (2010) dengan “Claws in so Deep”. Secuil komposisi akustik dari Rodrigo y Gabriela yang membuntuti lagu ini memberi jeda sejenak bagi Death Angel untuk rehat sebelum langsung menggeber lagi dengan lagu “Truce” dari album terbaru.

Lalu, mereka mundur ke album “Act III” (1990) ketika intro suara desiran ombak laut terdengar. Yeah! Menerjanglah nomor “Seemingly Endless Time”, trek pertama dari album tersebut yang malam itu dibawakan dengan ganas. Berkali-kali para moshing mania di depan panggung membuat circle pit yang cukup brutal. Situasi itu tak juga terjadi ketika “3rd Floor” dari album “Frolic Through the Park” (1988) digeber.

Meskipun hanya didukung tata cahaya yang sederhana, namun aksi panggung Death Angel yang seru dan all-out mampu menutupi kekurangan tersebut. Empat punggawa bagian depan, yakni Mark, Rob, Ted dan Damien benar-benar anti stagnasi. Headbanging secara non-stop, melompat dan seringkali melakukan blocking panggung yang menawan. Lalu, permainan gitar solo dari Rob yang shredding plus sedikit sentuhan blues meraung-raung sepanjang konser dengan artikulasi yang tajam dan tegas. Aksi Rob itu berpadu dengan garukan ritem dari tandemnya, Ted yang tak kalah galak.

Usai mengendurkan otot lewat lagu balada “Veil of Deception”, Rob dkk kembali menyulut kobaran moshpit dengan menggasak nomor “Relentless Revolution”, serta dua lagu lawas dari album debut, yakni “Voracious Souls” dan “Kill As One” yang terasa menggetarkan lantai Bulungan dengan kekuatan yang lebih tinggi. Di tengah lagu yang disebutkan terakhir, sang vokalis, Mark yang sangat komunikatif dan full-energy sepanjang konser mengajak penonton meneriakkan tiga kata: ‘Kill, As, One’ sekencang-kencangnya sebelum akhirnya menghilang ke balik panggung. Hanya beberpa menit kemudian, Death Angel muncul kembali ke panggung untuk menuntaskan nomor encore “Thrown to the Wolves” dari album “The Art of Dying” (2004) yang sekali lagi menciptakan moshing liar yang ganas.



Kirk Hammett

Death Angel dibentuk tahun 1982 di San Fransisco Bay Area, California, AS (kawasan tumbuh dan berkembangnya musik thrash metal setelah Metallica dan Exodus) oleh empat remaja yang masih saudara sepupu berdarah campuran Filipina-Amerika, yaitu Rob Cavestany, Dennis Pepa (bass), Gus Pepa (gitar) dan Andy Galeon (dram). Setahun setelah merilis demo pertama “Heavy Metal Insanity” (1983), Mark Osegueda direkrut menjadi vokalis yang juga masih saudara sepupu. Bersama Mark, tahun 1986, Death Angel merilis demo kedua, “Kill As One” dengan produser Kirk Hammett (gitaris Metallica). Kesuksesan demo tersebut menghasilkan kontrak rekaman dengan Enigma Records. Maka lahirlah album debut “The Ultra Violence” (1987). Ketika rekaman album tersebbut, usia para personil Death Angel masih di bawah 20 tahun. Bahkan dramer Andy Galeon masih berusia 14 tahun. Album tersebut terjual sebanyak 40 ribu keping hanya dalam waktu empat bulan. Album kedua, “Frolic Through the Park” (1988) kembali mendulang sukses dengan singel “Bored” yang video klipnya sering ditayangkan di program MTV, “Headbanger’s Ball”.

Burgerkill

“Beyond, Coma and Despair” sendiri merupakan pembuka jalan bagi Burgerkill untuk mengembangkan sayap secara lebih luas. Kepedihan dan kebahagiaan campur aduk tatkala album tersebut dirilis pada Juli 2006 silam. Beberapa waktu sebelumnya, vokalis mereka saat itu, Ivan ‘Scumbag’ Firmansyah meninggal dunia akibat peradangan otak di tengah-tengah proses pembuatan album. Tapi kontribusi vokal, lirik dan ide-ide Ivan di “Beyond, Coma and Despair” ternyata berbuah emas. Album ini mendapat sambutan luar biasa, tidak hanya di scene metal Tanah Air – dimana setiap show mereka selalu mencapai target dalam hal jumlah penonton – namun bahkan juga menembus pasar mancanegara.

Dampak perilisan “Beyond, Coma and Despair” oleh Xenophobic Records, sebuah label independen di Australia pada Agustus 2008, telah melesatkan gaung Burgerkill sehingga membahana di negara Kanguru tersebut. Bahkan, dengan formasi baru: Eben (gitar), Agung (gitar), Ramdan (bass), Vicky (vokal), mereka pun diundang untuk melakukan beberapa tur promo, sekaligus tampil di dua festival musik bergengsi, yakni Soundwave Festival (2009) dan Big Day Out (2010), dimana Burgerkill bisa berbagi panggung dengan band-band kaliber dunia seperti Lamb of God, DevilDriver, Unearth, In Flames, Lacuna Coil, Poison The Well, Mars Volta hingga Mastodon.

Protest the Hero -“KAMI SEMAKIN PANDAI SECARA TEKNIKAL”

Protest the Hero baru saja merilis album terbarunya, “Scurrilous” (Vagrant Records) yang semakin mempertegas ketangguhan band asal Kanada ini di genre metal progresif. Secara eksklusif kepada GitarPlus, gitaris Luke Hoskin membanggakan proses kreatifnya di penggarapan rekaman album tersebut, dimana ia merasa berhasil mengumbar permainan gitar teknikal, ritmis dan kompleks tanpa harus mengaburkan kebutuhan esensi dari komposisi lagu yang tetap harus bisa dinikmati.

Sebelum “Scurrilous”, Protest the Hero yang juga dihuni Rody Walker (vokal), Tim Millar (gitar), Arif Mirabdolbaghi (bass) dan Moe Carlson (dram) telah merilis sebuah album mini berjudul “Search for the Truth” serta dua album studio, “Kezia” (2005) dan “Fortress” (2008). Tahun 2009, band bentukan tahun 1999 yang sempat memakai nama Happy Go Lucky ini sempat pula merilis album rekaman konser bertajuk “Gallop Meets the Earth”. Popularitas mereka kini telah mendunia, mengenyam banyak jam terbang di panggung metal sepanjang daratan Amerika dan Eropa, dan tampil sepanggung dengan band-band impresif lainnya seperti Killswitch Engage, Trivium, Bullet for My Valentine, In Flame, As I Lay Dying, A Day to Remember, Between the Buried and Me, The Devil Wears Prada, Unearth hingga TesseracT. Luke dan seluruh amunisi Protest the Hero mulai masuk studio rekaman dan menggarap “Scurrilous” sejak awal September 2010 bersama produser Julius Butty. Lalu, single pertama dari album ini, “C’est La Vie” mulai diperdengarkan sejak Februari 2011. Dan ketika dirilis, album ini langsung mendulang banyak respon positif, termasuk penilaian lima bintang dari situs Allmusic.com

SANTANA

Gitaris legendaris Carlos Santana bersama bandnya, Santana, melanjutkan tradisi album yang menghadirkan sejumlah bintang tamu di “Guitar Heaven: The Greatest Guitar Classics of All Time” (Arista/Sony Music). Tapi kali ini, ia lebih fokus pada daur ulang lagu-lagu rock klasik berorientasi gitar, yang ia analogikan seperti wanita.



Di sini, Santana bermaksud memberi penghargaan terhadap lagu-lagu rock klasik berorientasi gitar yang dikaguminya. Di antaranya “Whole Lotta Love” milik Led Zeppelin, lalu “While My Guitar Gently Weeps” (The Beatles) dan “Photograph” (Def Leppard) yang menjadi single unggulannya, serta “Back in Black” (AC/DC), “Smoke on the Water” (Deep Purple), “Dance the Night away” (Van Halen), “Little Wing” (Jimi Hendrix), “I Ain’t Superstitious” (Jeff Beck Group) hingga “Sunshine of Your Love” (Cream) yang sempat dibawakannya saat manggung di pentas utama “Axis Jakarta International Java Jazz Festival” yang berlangsung selama tiga hari, yakni 4,5,6 Maret 2011 lalu.



Tentu saja, keseluruhan lagu tersebut telah dipermak, didaur ulang agar sesuai dengan interpretasi Santana, dengan memasukkan formula musik bernafaskan Latin yang kental plus pola permainan gitar Santana yang sangat khas. Oh ya, bintang tamu yang dihadirkan Santana antara lain Chris Cornell (Soundgraden), Scott Weiland (Stone Temple Pilots), Rob Thomas (Matchbox 20), India Arie, Chris Daughtry (Daughtry), Chester Bennington (Linkin Park), Jacoby Shaddix (Papa Roach) hingga Gavin Rosdale. Itu untuk jajaran vokal. Sementara di instrumen lain, Santana juga mengajak Ray Manzarek, kibordis The Doors di lagu klasik “Riders on the Storm” serta virtuoso cello Yo-Yo Ma di lagu “While My Guitar Gently Weeps”.



Di versi Deluxe Edition, Santana juga mendaur ulang lagu “Fortunate Son” (CCR) yang vokalnya diisi oleh Scott Stapp (Creed) dan “Under the Bridge” (Red Hot Chili Peppers). Sementara untuk versi yang khusus beredar di Jepang, ada trek tambahan lagu “La Grange” (ZZ Top).



Ide untuk menggarap album semacam ini sebenarnya, awalnya dicetuskan Clive Davis, produser eksekutif yang mulai merekrut Santana sebagai salah satu artisnya (di Columbia Records) sejak tahun 1968 silam. Ia telah mengenal betul karakter Santana, baik secara personal maupun musikal. “Carlos memiliki indra rasa yang sangat kuat terhadap apa yang cocok buat dirinya. Dia mendengarkan musik-musik tersebut dengan kupingnya, tapi juga tahu apakah lagu-lagu itu cocok untuk dirinya,” ungkap Clive.

WOLFGANGS CADAS ALA WOLFGANGS

Robbie Matulandi, mantan vokalis Edane kini punya rumah baru untuk menumpahkan energinya dalam musik cadas. Wolfgangs adalah band barunya, yang juga dihuni dramer Edos Manggala, gitaris Elmond Gultom dan bassis teknikal Arya Setyadi. Dengan formasi ini, Wolfgangs telah melahirkan album debut bertajuk “#1” (Avra Music Studio). Rock metal menjadi geberan utama band ini, karena didasari pengalaman bermusik masing-masing personel. Pada dasarnya, mereka bertekad hadir kembali di blantika musik rock metal Tanah Air, ingin mengeksplor kemampuan, dengan bermodalkan visi yang sama serta pengalaman di masa lalu yang kemudian diterapkan di era sekarang. Mereka merasa nyaman dengan konsep ini karena selera yang sama terhadap musik keras, cadas dan padat. “Musik kami dilatarbelakangi dari kenyamanan dan refrensi bermusik kami masing masing,” seru Elmond. Saat penggarapan album ini, segala referensi berbau metal diaplikasikan di sini.

Namun menurut Robbie, tetap saja ciri bermusik Wolfgangs dipertahankan, yakni dengan memadukan pengalaman dan ciri khas tiap personel. “Ini baru awalnya, hanya lima lagu dan solo bass Arya. Baru pemanasan. Album Wolfgang's berikutnya bakal ada 10 lagu baru,” seru Robbie menjanjikan. Untuk pengisian gitar di album ini, Elmond mengaku cenderung berkiblat ke paduan pola ritem dan solo dari Pantera, Metallica hingga Yngwie Malmsteen. Proses rekaman gitarnya menerapkan sistem todong mikrofon (mic-ing) menggunakan mikrofon Sennheiser MD421 dan Neumann M149 Tube. Efek distorsi langsung dari head Mesa/Boogie Rectifier dan cabinet Randall Titan. Elmond menggunakan gitar Fender Stratocaster neckthru yang disemati senar D’Addario .010 serta konfigurasi pickup EMG 81 dan 89. (mdy)

“KAMI MEMAINKAN BLUES PINTAR!”

Tak ada yang bisa menghentikan laju Gugun Blues Shelter sekarang. Setelah menjadi trio rock-blues paling berpengaruh di Tanah Air, kini grup yang baru saja merilis album “Satu Untuk Berbagi” (Off The Records) ini berhasil memenangkan ajang kompetisi “Global Battle Of The Bands” di jenjang Internasional dan berhak tampil di panggung utama Hard Rock Calling 2011, yang berlangsung di Hyde Park, London, Inggris, berbagi panggung dengan legenda musik dunia seperti Rod Stewart dan Bon Jovi, juga dengan Train, Adam Ant dan Stevie Nicks. Rod Stewart dan Bon Jovi, juga dengan Train, Adam Ant dan Stevie Nicks. “Kami udah siap banget main di sana!” cetus Muhammad “Gugun” Gunawan, vokalis dan gitaris Gugun Blues Shelter kepada GitarPlus yang menemuinya sore itu, di sebuah mal di kawasan Jakarta Selatan. Saat itu, Gugun yang didampingi John “Jono” Armstrong (bass) serta Aditya “Bowie” Wibowo (dram) sebenarnya baru saja kembali dari Inggris, setelah menggelar tur mini, 17 hingga 21 Mei 2011 lalu. Kepenatan mereka belum hilang, dan kini – saat hasil wawancara ini ditulis – Gugun dkk kembali bersiap-siap terbang ke Inggris untuk tampil di Hard Rock Calling 2011. Jika sesuai rencana, mereka akan tampil di hari ketiga, Minggu, 26 Juni 2011 waktu setempat. Lalu, September 2011 mendatang, Gugun Blues Shelter kembali akan mengunjungi Inggris untuk menggelar tur. Luar biasa!

GUITAR FORCE UNJUK GIGI LAGI

Pergelaran gitar bertajuk “Guitar Force” kembali digelar oleh komunitas gitaris di Surabaya untuk kedua kalinya. Kali ini diadakan di Elbow Cafe, 8 Mei 2011 lalu dan tetap menonjolkan penampilan bakat-bakat baru di dunia gitar yang belum punya nama. Sebagai ‘bumbu’ acara, sempat ditampilkan Bed Roses Band yang dihuni wanita-wanita cantik. Setelah suguhan ‘pemanasan’ itu, mulailah ditampilkan aksi permainan gitar para anggota Guitar Force dengan kemampuan skill yang tidak kalah dibanding para gitaris yang sudah punya nama. Genre yang diusung juga tidak melulu dari rock, tapi ada pula blues, ballad hingga jazz.

Selain itu, di acara yang dipelopori oleh Arie Pablo dan Endhe Legato tersebut tampil pula band Hari Mechot & Friends yang bercorak speed metal. Acaranya sendiri dipandu MC Andrew Raharjo dan Fuad Monster. Selain unjuk skill, juga ada kuis berhadiah pedal efek dan pelelangan gitar serta bagi-bagi majalah GitarPlus. Penonton yang merogoh kocek sebesar 20 ribu rupiah untuk menyaksikan acara ini lumayan ramai, walaupun sempat terhalang hujan. Menurut rencana, event selanjutnya akan dilangsungkan di Solo, Jawa Tengah, 28 Juli 2011 mendatang.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More